Perlu Bukti Apa Untuk Selesaikan Kasus Kematian Mirna?

Kasus kematian Wayan Mirna Salihin masih belum mendapatkan titik terang. Namun, polisi sudah membidik satu tersangka dalam kasus 'kopi sianida' ini. Mirna tewas setelah minum es kopi Vietnam di sebuah kafe di kawasan Jakarta Pusat bersama 2 temannya, Jessica Kumala Wongso dan Hanny.

Setelah Polda Metro Jaya memeriksa belasan saksi, mereka pun menemukan 4 alat bukti untuk menjerat si penabur sianida. Polisi berharap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menerima 4 alat bukti itu agar mereka dapat segera menetapkan tersangka.

Menurut Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti, meski 'calon' tersangka tersebut kerap menyanggah fakta-fakta yang ditanyakan, penyidik optimistis dengan bukti yang dikumpulkan selama penyelidikan.

"Insya Allah kami yakin itu barang bukti cukup signifikan dan sekarang sedang diuji. Nanti dari situ apa petunjuk jaksa baru kami kembali lakukan gelar perkara," ucap Krishna.



4 Alat bukti yang sudah disiapkan polisi adalah hasil Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) dari RS Polri yang sudah dilegalisasi. Isinya, menunjukkan ada zat sianida di lambung Mirna.

Selain hasil uji Puslabfor, ada keterangan ahli yang sudah dirangkum dalam BAP oleh penyidik. Dia menjelaskan, dalam suatu kasus, kehadiran ahli dibatasi maksimal 6 dan minimal 3. Saat ini, polisi sudah meminta keterangan 3 ahli. Keterangan itu seputar analisis ahli antara lain psikiatri forensik dari Biro Psikologi Polri dan ahli pidana.

"Alat bukti kami sudah ada beberapa, keterangan ahli kami sudah punya. Ahli yang akan kami periksa lebih dari 6 ahli nanti, tapi kami sudah punya minimal 3 ahli," ujar Khrisna.

Selanjutnya, tambah dia, alat bukti berupa petunjuk barang bukti dan keterangan saksi yang disesuaikan.

Terakhir dokumen yang enggan dia sebutkan isinya karena bersifat rahasia untuk kepentingan penyidikan. "Kemudian petunjuk barang bukti dan keterangan saksi. Kemudian dokumen kami punya," sambung Krishna.


Teori syarat atau dikenal dalam bahasa latin Conditio Sine Qua Non merupakan teori hukum konstruksi suatu tindak pidana. Dalam hal ini keterangan tersangka yang bersifat membela diri dapat diabaikan, sesuai dengan Pasal 184 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan alat bukti serta fakta di lapangan menjadi instrumen hukum yang sah untuk menjerat seseorang sebagai tersangka.

"Dengan alat bukti yang kami miliki, (fakta) peristiwa yang kami miliki, maka seseorang cukup layak ditingkatkan sebagai tersangka. Namun kami harus gelar atau ekspose dengan JPU (jaksa penuntut umum). Kami harus tunjukkan dulu satu petunjuk atau barang bukti yang signifikan yang kami miliki," kata Krishna.



Direktur Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Metro Jaya Kombes Krishna Murti (depan) tiba di Cafe Olivier Grand Indonesia, Jakarta, (19/1/2016). Kepolisian kembali melakukan rekonstruksi sampel kasus kopi beracun. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Dalam hal ini Krishna yakin hasil penyidikannya selama hampir 3 pekan tersebut cukup signifikan untuk meningkatkan status salah satu saksi menjadi tersangka. Jika benar tercukupi, penyidik pun akan melakukan gelar dan mengumumkan identitas terduga kuat pembunuh Mirna.

Meski polisi yakin alat buktinya sudah dapat menjerat pembuat kopi maut untuk Mirna, kejaksaan menolaknya. Mereka menilai alat bukti polisi masih kurang untuk menjerat seseorang menjadi tersangka. Meskipun sebenarnya kepolisan telah mengantongi 4 alat bukti. Padahal jumlah minimal alat bukti untuk menjerat seseorang sebagai tersangka cukup 2.

"Analisa semalam masih ada kekurangan (alat bukti). Alat bukti kami sudah ada 4, misalnya keterangan ahli, kami tambah lagi," ujar Krishna di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Selasa 26 Januari 2016.

Krishna menyatakan jika jaksa penuntut umum (JPU) meminta polisi melengkapi alat bukti saat koordinasi perkara, maka polisi akan merampungkannya.

Mirna diberangkatkan menggunakan mobil jenazah VW Transporter berwarna putih.

"Kami yakin, tapi kalau jaksa belum yakin gimana? Kami melakukan ekspose dengan JPU Kasipidum (Kepala Seksi Pidana Umum). Nanti (jika) ada petunjuk apa, kami follow up. Kita ikuti saja petunjuknya," tutur Krishna.

Kejaksaan pun mengatakan tak ada ekspose perkara pada Selasa 26 Januari 2016. Humas Kejati DKI Jakarta Waluyo Yahya mengatakan, pihaknya hanya menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari kepolisian Senin sore 25 Januari. Surat tersebut, digunakan kedua belah pihak sebagai bahan koordinasi. Ia enggan menyebut pertemuan pihaknya dengan kepolisian sebagai ekspose kasus.

"Ini koordinasi biasa. Bukan ekspose. Koordinasi tertutup, sifatnya konsultasi," ujar Waluyo.

Ia menjelaskan, tujuan koordinasi kepolisian dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk menghindari terulurnya waktu jika kasus Mirna dinaikkan ke persidangan.

"Tujuannya untuk menghindari seandainya naik sidang, bolak balik berkas perkara. Itu intinya," lanjut Waluyo.

Polisi sudah memeriksa belasan saksi dalam kasus ini. Ada 3 saksi kunci yang polisi jaga. Hanny, teman ngopi Mirna dianggap polisi tahu persis bagaimana detik-detik perempuan berparas ayu itu meregang nyawa. Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya sudah 2 kali memanggil Hanny.

Krishna mengatakan, penyidiknya mengulang beberapa pertanyaan kepada perempuan berparas oriental tersebut. Hal ini karena keterangan Hanny berbeda dengan data kepolisian.




Siapakah nama lengkap Hani dan sejak kapan ia mengenal Wayan Mirna Salihin?

"Ada beberapa pertanyaan yang dikaji ulang dari hasil analisa kronologis yang kami miliki. Karena ada keterangannya yang berbeda dengan yang kami miliki. Kita cek lagi," ungkap Krishna.

Krishna membeberkan, kondisi psikologis Hanny panik menghadapi detik-detik sebelum Mirna meninggal dunia, saat mengalami kejang dan mulut berbusa. Sehingga saat penyidik menunjukkan petunjuk-petunjuk yang hendak disesuaikan, keterangan Hanny memberikan keterangan yang tak signifikan kecocokannya.

"Hanny ini kan orangnya panik. Waktu itu kita tanya, mungkin dia tidak ingat. Kita tunjukkan sesuatu apakah dia mengingat-ingat lagi. Karena dia kan panik, ya kalau panik bisa lupa. Karena lupa, kita ingatkan lagi," terang Krishna.

Saksi detik-detik kematian Mirna lainnya adalah Jessica Kumala Wongso. Jessica menjadi saksi spesial karena namanya terus disorot sejak meninggalnya Mirna.

Perempuan berusia 27 tahun inilah yang memesankan dan membayar kopi yang diminum Mirna. Saat ini Jessica sedang berusaha membantah rumor bahwa dirinyalah yang memasukkan sianida ke kopi yang diminum Mirna.



Lewat pengacaranya, Yudi Wibowo, Jessica meminta agar dia tak dikambinghitamkan atas kematian pengantin baru itu. Apalagi, menurut Yudi, dari rekonstruksi Hanny juga meminum kopi Mirna. Namun, Hanny tidak meninggal dunia.

"Janganlah klien kami dikambinghitamkan dalam kasus ini. Yang satu minum kopi tidak mati, yang satunya minum kopi mati. Kopi yang (diminum) itu satu gelas sama. Sama-sama satu gelas," kata Yudi usai mendampingi Jessica di Mapolda Metro Jaya.

Saksi kunci lainnya adalah pembantu Jessica Kumala Wongso. Perempuan berinisial SR itu saat ini berada di suatu tempat dan dilindungi aparat kepolisian. Dia pun sudah menjalani proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

"Salah satu saksi kunci (pembantu Jessica) semalam ditempatkan di tempat perlindungan. (Inisialnya) SR. Di-BAP," ucap Krishna.

Krishna mengatakan, SR diamankan bukan karena mendapat tekanan atau ancaman dari majikannya. Tetapi orangtuanya yang meminta bantuan polisi untuk memulangkan anaknya yang telah berhenti kerja ke kampung halaman.

Namun Krishna enggan membeberkan alasan SR ingin berhenti kerja dari rumah Jessica.

"Semalam (21 Januari 2016), orangtua yang bersangkutan minta (anaknya) dijemput. (SR) Ditempatkan (oleh polisi) di rumah khusus, orangtua tahu kok (tempatnya)," jelas Krishna.

Alasan polisi tak mengizinkan SR kembali ke kampung halaman lantaran efisiensi jarak dan waktu jika kesaksiannya diperlukan untuk persidangan.

"Jadi kalau dibutuhkan untuk sidang tidak jauh. Dia tidak (jadi) pulang ke kampungnya," sambung Krishna.

SR menjadi saksi kunci karena polisi mendapat informasi dari asistem rumah tangga itu bahwa Jessica atau yang akrab ia sapa Eneng menyuruhnya membuang celana panjang dengan alasan robek. Celana panjang itu diketahui dipakai Jessica saat bertemu Mirna di Olivier Cafe, Grand Indonesia pada 6 Januari 2016 lalu. Atau saat peristiwa maut kopi sianida merenggut nyawa Mirna.

Informasi itu dikemukakan SR saat polisi menggeledah rumah Jessica di Sunter, Jakarta Utara, Minggu 10 Januari 2016 malam. Setelah itu polisi mencari celana Jessica mulai dari tempat sampah hingga ke Tempat Penampungan Akhir (TPA). Namun hasilnya nihil.

Antara Senyuman dan Tangisan Sahabat Mirna

2 Sahabat Mirna, Jessica dan Hanny sama-sama melihat perempuan yang baru menikah itu meregang nyawa. Polisi memeriksa maraton keduanya. Namun, keduanya memiliki sikap yang berbeda saat menghadapi masalah ini.

Jessica tampak tenang keluar dan meladeni beberapa pertanyaan wartawan.

Kepada awak media, Jessica menyatakan siap membantu polisi untuk mengungkap pelaku yang tega meracuni es kopi Vietnam yang diminum Mirna.



"Saya membantu polisi. Polisi lagi bekerja keras untuk menetapkan siapa gitu yang di balik ini semua. Saya juga maunya kayak begitu, yang terbaiknya saja," kata Jessica.

Lain Jessica lain Hanny. Hanny justru memilih bersembunyi dari sorotan kamera wartawan. Rambutnya yang panjang, dibiarkan menjuntai menutupi wajahnya. Awak media tidak mengetahui kedatangannya. Namun, dia terlihat keluar dari gedung Ditreskrimum sekitar pukul 13.30 WIB, Senin 25 Januari 2016.

Saat berjalan di koridor Gedung Ditreskrimum, wanita yang mengenakan blus merah muda dan rok polkadot hitam putih selutut ini langsung berlari ketika kedatanganya diketahui awak media.

Saking ingin bersembunyi dari kejaran media, dia yang sedang menunggu mobil di sebelah gedung pun nekat membuka pintu ruang piket Subdit Jatanras dan masuk ke dalam. Di dalam ruangan itu, Hanny tampak menangis di pelukan perempuan berbaju putih yang mendampinginya.

Sepanjang disorot kamera, saksi kunci kematian Mirna ini terus menunduk dan membiarkan rambutnya menjuntai ke bawah menutupi wajah. Tampak perempuan berbaju putih mengusap-usap punggung Hanny yang tengah menangis tersedu-sedu.

Tak berapa lama sebuah mobil minibus berpelat B 828 TON berhenti di depan ruang piket Jatanras. Seorang pria yang merupakan sopir Hanny mengatakan majikannya tiba di Mapolda pukul 11.00 WIB. Hanny telah menjalani pemeriksaan 2,5 jam karena terlihat keluar pukul 13.30 WIB.

"Iya ini mobil Hanny. Tadi sampai sini siang, sekitar jam 11-an," kata pria yang tak sempat menyebutkan namanya itu di Mapolda Metro Jaya, Jakarta, Senin 25 Januari 2016.

Halaman Berikutnya:

0 Response to "Perlu Bukti Apa Untuk Selesaikan Kasus Kematian Mirna?"

Post a Comment